Jumat, 03 September 2010

SEJARAH PERMESTA

Mei 1959

Ventje Sumual dlm sebuah rapat di hutan
Pada pertengahan bulan, APRI membangun serangan besar²an untuk merebut daerah Minahasa Selatan dengan menggempur Motoling dari arah Amurang, serta Ratahan dari jurusan Langowan yang akhirnya berhasil diduduki dan diperlengkapi dengan senjata berat terbaru buatan Ceko, Rocket Launcher 32 laras (yang oleh Permesta disebut "32 loop") yang uji cobanya untuk menggayang Permesta (PRRI di Sulawesi). Rocket Launcher 30mm ini dipersenjatai pada Bn. Armed (Art.) 9.
Desa Liwutung (Markas Panglima Tertinggi/KSAD Permesta berada di desa Towuntu di ujung desa Liwutung), Molompar, Mundung, Kuyanga, sampai Tombatu dibumihanguskan oleh Pasukan Permesta sebelum bergerak mundur. Kemudian Tombatu berhasil diduduki APRI.
Selama Pergolakan Permesta, tidak kurang 150 desa di daerah Minahasa mengalami taktik bumihangus oleh kedua belah pihak.

Di desa Liwutung ini juga terdapat pabrik minuman keras merek anggur Welpon yang sangat laris dan dikenal di wilayah Permesta.
Di selatan wilayah gerilya Permesta, juga pernah beredar dua buah merek rokok yang diambil dari sebuah kapal yang berlabuh/kandas di pantai Batu Kapal, Sinonsayang, dimana satu diantaranya adalah rokok dengan merek "Permesta".
Dapat dicatat di sini adalah dibajaknya kapal asing bernama MV. Norse Lady, oleh Pasukan Permesta dari Batalyon Q pimpinan Mayor J. Lumingkewas dari Pelabuhan Parigi di Sulawesi Tengah bulan April 1958. Pasukan Bn. Q dan sejumlah warga sipil, diangkut kapal itu sampai di pantai Belang sambil dikejar kapal perang ALRI dan pesawat AURI. Ketika mendekati pantai Belang, sebuah pesawat AURI memergoki dan menembaki kapal ini. Nyaris saja kapal ini tenggelam, kalau tidak segera dikandaskan ke pantai yang dangkal di dekat pelabuhan Belang. Sejumlah penumpang kapal ini, tewas dan luka² ketika diserang pesawat AURI, bahkan banyak diantaranya yang terpaksa melompat ke laut. Juga kapal Sea Bird yang kemudian diganti nama Black Snake memasok barang termasuk senjata dari luar negeri lewat pelabuhan kecil Bolaang Uki di Bolmong. Kapal itu terakhir ditenggelamkan sendiri oleh Permesta di pantai Inobonto.
2 Juni 1959 Singapura memisahkan diri dengan Persekutuan Tanah Melayu/Malaysia.
Singapura adalah basis (pangkalan) dan tempat persinggahan tokoh² dan sejumlah pendukung Permesta dan yang menjadi titik terpenting dalam perhubungan dengan dunia luar. Di sini, para tokoh seperti Letkol Ventje Sumual sendiri, Mayor D.J. Somba, Kolonel Alex Kawilarang, Mayor Nun Pantow, Mayor Daan E. Mogot -(bukan Mayor Daan Mogot - pendiri Akademi Militer Tangerang yang gugur pada tahun 1946 melawan tentara Jepang)-, Prof. Soemitro Djojohadikusumo, Mayor AURI Petit Muharto Kartodirdjo, Des Alwi (Atase Pers KBRI di Manila), E. Pohan, Kapten Lendy Tumbelaka, Mr Sjafruddin Prawiranegara, dan lainnya keluar masuk untuk mengadakan pertemuan dan hubungan dengan pihak asing guna mendukung gerakan PRRI dan Permesta.
"Pos X", demikian nama pos informasi intelejen PRRI (dan Permesta), yang sebenarnya tidak banyak melebihi kualitas sebuah biro informasi. Kabar² yang diperoleh umumnya berasal dari orang² yang menyebut diri simpatisan PRRI-Permesta, yang sendirinya masih belum 100% dapat dipercaya. "Biro X" ini terdapat di Jakarta dan Singapura. Pusatnya berada di Singapura, dikepalai Jaksa E. Pohan yang masih aktif di perwakilan Ri di Singapura (KBRI).
5 Juli 1959 Dektrit Presiden Soekarno untuk kembali ke UUD 1945.
10 Juli 1959 Dengan berlakunya kembali UUD 1945, maka Kabinet Djuanda (Kabinet Karya) dibubarkan terhitung hari ini. Kemudian dibentuk Kabinet Kerja I dengan Perdana Menterinya adalah Presiden Soekarno sendiri, sedangkan Ir. Djuanda ditunjuk sebagai Menteri Pertama.
Agustus 1959 Rapat di Singsingon - Bolmong yang dipimpin Waperdam Joop WAROUW akibat selisih pendapat soal rencana pembentukan sebuah negara terpisah dari Republik Indonesia bernama Republik Persatuan Indonesia (RPI). Ia telah menerima sebuah kawat dari Presiden PRRI Sjafruddin Parawiranegara yang menjelaskan kerangka tujuan menetapkan suatu pemerintahan federal, yang didalamnya setiap unsur negara bagian berhak menentukan agama serta falsafah kenegaraannya masing². Rapat itu menghasilkan 'Piagam Perdjoangan – Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia' untuk mencegah rencana pembentukan RPI terlepas dari RI, yang isinya antara lain;
- pembelaan terhadap Proklamasi 17 Agustus 1945 dan Pancasila,
- penyatuan kembali bangsa Indonesia,
- pelaksanaan hak otonomi regional,
- penyelesaian secara damai krisis Irian Barat melalui PBB,
- diakhirinya rezim Soekarno, dan
- penghapusan komunisme internasional di Indonesia.

Pertemuan tersebut dihadiri oleh para anggota pemerintah sipil dan perwira tinggi militer kecuali Panglima Besar Mayjen Alex Kawilarang dan Kolonel D.J. Somba. Joop Warouw kemudian mengirimkan kawat kepada Alex Kawilarang agar ikut menghadiri rapat tersebut. Ketika empat hari kemudian Alex Kawilarang tiba (setelah berjalan kaki), dan ia mendukung posisi Joop Warouw. Menurut Sekjen Dephan PRRI, Abe Mantiri, ia mengatakan: "Di bawah bendera merah-putih ini terlalu (banyak) kawan sudah korban; bendera ini, kita sama haknya dengan Soekarno. Bendera ini kita punya; itu dan Pancasila tidak akan dilepaskan."
16 Agustus 1959 Kapten Gonibala, pimpinan satu batalyon kecil pasukan Permesta yang terdiri dari mahasiswa dan beberapa TNI asal Bolmong ditangkap hari ini karena dicurigai akan menyerah kepada pemerintah pusat. Ia kemudian dibunuh. Setelah itu digantikan oleh Kapten Usman Damopolii dan membentuk satu kesatuan baru hanya beberapa hari saja sebelum serangan pasukan TNI dari kesatuan Siliwangi atas Kotamobagu. Sebagian pasukannya itu membelot kepada Tentara Pusat, sehingga yang terbentuk hanyalah sebuah kompi kecil.
17 Agustus 1959 Sistem pemerintahan yang baru diperkenalkan oleh Presiden Soekarno dalam pidato kenegaraannya dalam rangka HUT RI dengan nama "Manifestasi Politik" atau Manipol.
28 Agustus 1959 Mata uang Rupiah didevaluasi oleh Pemerintah Pusat: Rp 1,000,- menjadi Rp 100,-; banknotes lebih dari Rp 25,000,- di- demonetized. Militer mulai memindahkan etnis Cina dari pedesaan ke kota-kota besar. Sebanyak 100.000 orang meninggalkan Indonesia menuju Republik Rakyat Cina dalam setahun kedepan; disamping 17.000 orang untuk Taiwan. KSAD Letjen A.H. Nasution menggabungkan organisasi² veteran dalam sebuah wadah dibawah kontrol militer dalam Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI).
18 September 1959


Resimen "Ular Hitam"
Kotamobagu yang dipertahankan oleh pasukan KDP III - Kolonel Permesta Dolf Runturambi akhirnya jatuh ke tangan tentara pusat/APRI.
Dalam peristiwa ini, pasukan Permesta yang tergabung dalam Sekolah Pendidikan Tentara Permesta dibawah pimpinan Letkol Wim Joseph dan Staf Deputi KSAD dibawah pimpinan Kolonel J.M.J. (Nun) Pantouw, membakar rumah² di bagian selatan kota Kotamobagu. Kira² 60% rumah di wilayah ini dibakar, dan rumah² yang ditemui pasukan Permesta yang mundur sat Kotamobagu jatuh. Menurut Komandan KDP III Kolonel Dolf Runturambi, ia melarang pembakaran rumah² yang merupakan milik rakyat. Hal ini menyebabkan para penduduk Bolmong menimbulkan antipati terhadap Permesta. Pembakaran itu telah meluapkan amarah rakyat. Dengan senjata seadanya: pedang, pisau, tombak, pacul (cangkul), peda/parang, dan panah, mereka melampiaskan kemarahan terhadap para pengungsi dari Minahasa, selain transmigran lokal asal Minahasa, bersenjata ataupun tidak.
September 1959

Pengumuman Pemerintah Pusat bulan ini mengenai jumlah korban akibat operasi militer penumpasan PRRI di Sumatera:
Dari pihak Pemerintah Pusat:
- tewas : 983 orang
- luka² : 1.695 orang
- hilang dalam tugas : 154 orang
Dari pihak PRRI:
- tewas : 6.373 orang
- luka²/tertawan dlm pertempuran : 1.201
- menyerah : 6.057 orang
11 Oktober 1959 Brigjen Ventje Sumual sebagai KSAD PRRI mengeluarkan radiogram Perintah Operasi Darurat No. 004 yang terkenal itu (Dhar no.004 atau Kpts.no.004/DAS/1010/59, 10-11-59 atau PO-004/Dhar) yang menyusun kembali tanggung jawab komando wilayah (slagorde Permesta). Menurut KSAD Ventje Sumual, ia merasakan perlunya menyebarluaskan pasukan² Permesta sebab jika semuanya berpusat di suatu daerah yang kecil, sulit mengadakan hubungan dengan luar negeri atau mempertahankan hubungan dengan Letkol Dee gerungan di Sulawesi Selatan, yang belum lama berselang telah mengirim seorang kurir. Tidak semua pasukan dapat tinggal di Minahasa, kata Ventje Sumual, beberapa sebaiknya pergi ke daerah Gorontalo. Perintah itu memberikan Minahasa Selatan kepada pasukan Brigade 999 pimpinan Jan Timbuleng (sebagian WK-III dan WK-IV digabung), dan daerah Minahasa Utara kepada Letkol John Ottay (WK-I, WK-II dan WK-III digabung).
Letkol Wim Tenges diperintahkan untuk memimpin Brigade Ekspedisi "Cicero" untuk bertempur di wilayah Gorontalo/Bolaang-Mongondow (Bolmong), yang kini sudah dikuasai secara mutlak oleh Tentara Pusat.
Pihak perwira Permesta di sebelah Utara menolak dengan tegas perintah Dhar 004 ini. Daerah Minahasa Utara sudah dalam keadaan perang gerilya selama lebih dari setahun, dan pasukan yang ditempatkan di situ telah berhasil memantapkan posisi mereka dan membina hubungan baik dengan para penduduk setempat. Bila Jan Timbuleng dan Brigade 999-nya berkuasa di wilayah mereka, hanya akan mencemarkan nama baik dan perjuangan luhur Permesta, karena pasukan Triple Nine ini terkenal dengan kebengisan, dan tabiat buruk lainnya, bukan hanya terhadap sesama pasukan Permesta, juga terhadap penduduk yang telah dibina hubungannya dengan pasukan Permesta di utara. Jangan pula melupakan bahwa Jan Timbuleng dan Brigade 999 tersebut adalah bekas pasukan pengacau Minahasa Selatan, Pasukan Pembela Keadilan, (PPK) yang sangat meresahkan penduduk.
Selain itu, bukankah kejatuhan Kotamobagu akibat dari kelalaian intelejen MBAD PRRI juga yang notabene berada di wilayah selatan (Tompaso Baru), dan bukankah lebih baik pasukan Permesta di sebelah selatan sajalah yang dikirim ke wilayah Bolmong dan Gorontalo?

Perintah Dhar 004 ini merupakan salah satu sumber perpecahan utama antara para pemimpin Permesta di Minahasa.
Kembali Ke 
Atas Go down
Lihat profil user http://paguyubanpulukadang.forumotion.net
Admin
Admin


Jumlah posting: 2235
Registration date: 31.08.08

PostSubyek: Re: SEJARAH PERMESTA   Tue Feb 17, 2009 6:21 pm

[justify]24 Oktober 1959 Kodam XIV/Hasanuddin di Sulawesi Selatan resmi berdiri hari ini, setelah didirikan bulan Juni 1957 yang lalu, dengan Panglima Kodamnya adalah Kolonel Andi Muhammad Jusuf, yang dahulunya adalah Kepala Staf Resimen Hasanuddin di Pare-pare.
2 November 1959 Ketua Sinode GMIM, A.Z.R. Wenas, bertemu dengan Panglima Besar Alex Kawilarang di desa Pangolombian, sebelah selatan kota Tomohon.
Beberapa ucapan Kawilarang yang disampaikan kepada Ketua Sinode GMIM adalah sbb:
1. Adakah Djakarta menjangka bahwa dalam satu djangka waktu jang pendek kami (Permesta) akan dapat ditaklukkan? Djawabnja: "Ini tidak mungkin".
2. Kami nanti ditaklukkan dalam satu djangka waktu jang pandjang? Djawab Kolonel Kawilarang pula: "Ini djuga pun tidak mungkin".
3. Indonesia sekarang ini telah hancur. Dengan berlangsungnja lebih jauh peperangan ini, ini diartikan "pasti bangkrutnja" Indonesia.
4. Dengan berlangsung lebih djauh peperangan saudara ini, mengakibatkan penderitan maha hebat rakjat Indonesia seluruhnja. Maka dengan djalan ini Indonesia matang untuk Komunisme; dengan demikian tanpa bersusah pajah berperang, Komunisme menang di Indonesia.
Kol. Kawilarang bertanja: "Adakah jang di atas ini barangkali jang dikehendaki oleh pemerintah di Djakarta?"
5. Maka untuk keselamatan Negara kita RI hendaknja pemerintah Djakarta untuk meninggalkan prestige-kwestienja jang hendaknja dihentikannja djalan kekerasan dan diadakan perundingan op gelijke voet.
6. Wij zijn niet overwonnen. Een betrekkelijk klein deel van de Minahassa is bezet door Pusat, het grootste gedeelte van de Minahassa is onder onze controle.
"Telah menduduki" bukan mengartikan "Telah menguasai".
Realiteit is, jalan² ada dikuasai oleh Permesta. Verder het grootste deel van de Rakjat, zeker 90 prosent staat achter ons. Overwinnaar zijn impliceert het hart van de Rakjat te hebben gewonnen, en dit is niet het geval.
8. De andere Permesta-leiders spreken van een strijd tegen het communisme. Mag men zeggen dat de Javaanse soldaten die tegen ons worden ingeset allemaal communisten zijn? "Neen! Helaas door deze broederoorlog zijn de communisten in aantal toegenomen".
9. De meesten van onzen jongens willen niet terug, want de behandeling van de Pusat is niet altijd fair.
10. De P.R.R.I. dat is een staat in een staat heeft niet zijn goedkeuring.
11. Djakarta gaat barsten. Politisch en economisch gaat Djakarta er aan.
12. Het is niet gezegd dat door de instelling van de nieuwe lichamen, de geest van het gehele bestuur veranderd wordt.
Wij kunnen de Pusat-troepen uitwerpen maar dan zijn wij toch nog niet klaar.
13. Onze parool is "de bevolking in bescherming nemen". De Pusat daarentegen bombardeert negorijen en rakjat.
14. Al valt 50 procent van onze wapens in handen van de Pusat dan nog kunnen wij ons handhaven.
15. Men had ons in een zeer korte termijn moeten neerslaan dan was de kekerasan gemotiveerd geweest.
16. Kolonel Kawilarang is zeer pessimistisch wat de beeindiging van de oorlog betreft. Hij voosiet dat ernog jaren mee gemoeid zijn, behalve als de Pusat zelf deze beeindigt en gaat praten met de leiders in Sumatra en in Sulawesi Utara.
17. De moeilijkheden strakc met de opbouw zijn niet weinig.
18. Wat komt er terrecht van Indonesie als straks de derde Wereldoorlog uitbreekt?
18 November 1959 Hari ini, suatu dokumen berjudul "Program Perdjoangan - Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia" disebarkan di Minahasa dengan ditandatangani oleh Waperdam PRRI Joop Warouw. Dalam dokumen ini, maksud tujuan perjuangan PRRI terlibat dikatakan adalah memaktubkan pembelaan terhadap Proklamasi 17 Agustus 1945 dan Pancasila, penyatuan kembali bangsa Indonesia, pelaksanaan hak otonomi regional, penyelesaian secara damai krisis Irian Barat melalui PBB, diakhirinya rezim Soekarno, dan penghapusan komunisme internasional di Indonesia.
Sebuah "program kerdja" dilampirkan bersama dokumen tersebut yang menggariskan tugas² setiap kementrian di dalam pemerintahan sipil. Setiap menteri diberi kekuasaan bertindak sendiri, dan melanjutkan pemerintahan sipil bila sesuatu terjadi pada menteri yang lain.
27 November 1959 Seruan² berkala oleh KODAM XIII/Merdeka dilakukan antara tanggal 27 November 1959 dan 11 Mei 1960 yaitu menyerukan kepada kaum pemberontak ("Permesta") untuk "kembali ke pangkuan ibu pertiwi".
Tindasan seruan demikian, banyak diantaranya yang jelas bermaksud mengucilkan Ventje Sumual dan Dolf Runturambi di Selatan Minahasa dari pasukan Permesta lainnya.
10 Desember 1959 Amnesti kepada Permesta diajukan oleh Komandan Operasi Merdeka, Letnan Kolonel Roekmito Hedraningrat. Amnesti yang dianjurkan oleh Komandan Operasi Merdeka itu ditanggapi oleh Joop Warouw:
"Bila kami menerima amnesti maka ini diartikan bahwa kami bersalah. Kami merasa bahwa kami tidak bersalah".
16 Desember 1959 Dalam Sidang Pleno DPR di Bandung hari ini, KSAD Letjen A.H. Nasution mengatakan bahwa berhubung dengan keterangan pemerintah kepada Sidang Pleno ini mengenai keamanan, dan tulisan suratkabar "tentang Kolonel Alex Kawilarang jang meminta ceasefire" hal yang mana "tidak dapat kami terima".
31 Desember 1959 Di Manado, Panglima Kodam 17 Agustus Kolonel Sunardjadi meminta Menteri Penerangan RI Arnold Mononutu supaya dapat memberikan pidato radio penutupan tahun 1959 dan menyongsong Tahun Baru 1960 kepada masyarakat Sulawesi, khususnya Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah. Dalam pidato tersebut, ia mengemukakan dengan serius kepada para pimpinan Permesta agar menghayati penderitaan rakyat yang begitu besar akibat pergolakan Permesta, terutama masyarakat di Tanah Toar-Lumimuut.
1 Januari 1960 Bekas pilot sewaan pesawat AUREV Permesta, Allan Lawrence Pope, mulai disidangkan Pemerintah Pusat.
Allan Pope kemudian dijatuhi hukuman mati dan kopilot J.Harry Rantung diganjar 15 tahun. Namun pemerintah AS berusaha keras untuk membebaskan Pope. Jaksa Agung AS Robert Kennedy diutus ke Jakarta menemui Presiden Soekarno. Dalam kunjungannya, Kennedy membawa surat Presiden Dwight Eisenhower yang isinya minta kebijaksanaan Soekarno agar Allan Pope bisa bebas. Disamping itu, istri Pope yang cantik diterbangkan dari AS untuk secara khusus menghadap Bung Karno. Konon, Bung Karno menerima dengan penuh keramahan. Kekaguman Bung Karno kepada wanita cantik, dimanfaatkan AS untuk membujuk sang presiden.
Satu ketika menjelang subuh pada Februari 1962, Harry dan Pope yang dalam status terpidana didatangi beberapa anggota CPM bersenjata lengkap dan meminta keduanya ikut. Pope diminta mengemasi milik pribadinya, sedangkan Rantung diperintahkan ikut saja tanpa perlu membawa apa². Di luar penjara sudah menunggu sebuah panser. Mereka naik, sesaat kemudian kendaraan melaju kencang ke arah yang mereka tidak tahu. CPM tidak ngomong sepatah katapun. Rantung buka mulut yang diarahkan ke Pope, "Kira² ada apa, ya?" Pope yang terlihat tenang menjawab, "Saya tidak tahu, tapi saya kira mereka tidak berani berbuat apa² kepada kita," kata Pope.

Dalam waktu setengah jam, panser berhenti dan diturunkan di Bandara Kemayoran. Di sana sudah menunggu Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia Howard Jones dan Atase Militer Kolonel George Benson di Jakarta dan beberapa staf kedubes AS di Jakarta. Sebuah pesawat Constellation sudah dipersiapkan. "Pasti kita akan jumpa lagi," kata Pope kepada Harry sambil berlalu ke dalam pesawat. Beberapa tahun kemudian, Harry Rantung mengaku pernah menerima undangan dari Pope yang bekerja di sebuah perusahaan penerbangan di California. "Saya diundang ke sana, semuanya gratis." ujar Harry Rantung

Usai pembebasan, Harry Rantung sempat bekerja sebagai petugas keamanan di Kedutaan Besar AS di Jakarta dan mendapat pensiun dari kedutaan.
Januari 1960 Kepala Staf AUREV Komodore Muda Petit Muharto Kartodirdjo kembali ke Manado dari Singapura saat Belanda memulangkan tahanan Indonesia yang kebanyakan adalah aktivis Permesta dari Hongkong ke Minahasa. Petit datang ke Minahasa bersama tahanan tesebut meminta ijin dari istrinya Siswani Siwi. Menurut Petit, Alex E. Kawilarang bersama pasukannya di hutan, yang juga meninggalkan keluarganya di luar negeri.

Dalam bulan Januari 1960, Petit kembali ke Minahasa dalam sebuah kapal penyelundup Belanda. Diantara para tahanan dalam kapal dia melihat Nufanto dan Lendy Tumbelaka. Beberapa tahanan sangat heran akan Petit, "Ia seorang etnis Jawa maar kenapa bergabung bersama orang Manado".
Tahun ini, Kolonel Hein Victor Worang kembali ke Minahasa sebagai Perwira Menengah SPRI Menteri Pertahanan/KASAD TNI dengan menjabat sebagai Ketua Team Penyelesaian / Penertiban Permesta.
5 Januari 1960 F.J. (Broer) Tumbelaka datang ke Manado untuk memprakarsai perdamaian antara Permesta dan Pemerintah Pusat. Mula² bertemu dengan beberapa orang pilihan Kodam XIII/Merdeka, dan terutama dengan asisten intel Kapten Aris Mukadar yang kemudian membantunya dalam misi perdamaian dengan Permesta. Ia memutuskan untuk bertemu dengan D.J. Somba, karena Sombalah yang mengeluarkan dukungan terhadap PRRI dan memutuskan hubungan dengan pemerintah Soekarno saat menjabat sebagai Komandan KDM-SUT.
3 Februari 1960 F.J. (Broer) Tumbelaka mengirim surat kecil kepada D.J. Somba melalui seorang kurir bernama Samuel Hein Ticoalu alias Tjame (/Came), yang diperolehnya dengan bantuan Kodam XIII. Ia menerangkan dalam surat itu: "Saja datang kemari bukan karena paksaan orang, akan tetapi karena dorongan hati sendiri untuk dengan se ichlas-ichlasnja menjumbangkan tenaga dan fikiran saja kepada suatu usaha untuk mentjari suatu penjelesaian jang baik dalam persengketaan jang kini masih tetap berlangsung."
(Surat Broer menggunakan nama samaran "Dr. Brunsted" supaya Joes (Yus) Somba tahu bahwa itu surat otentik. Nama samaran dipakai dalam seluruh perundingan untuk mempertahankan kerahasiaannya).
Tjame berhasil masuk sarang Permesta dengan alasan untuk bertemu anaknya yang menjadi operator Radio Permesta di markas besar WK-I di Pinili. Disitulah Tjame akhirnya bertemu dengan D.J. Somba pada tanggal 23 Februari 1960, pada suatu pesta dansa untuk menghormati komandan tamu (yang sedang inspeksi) itu. Yus Somba kaget melihat Tjame, seorang kenalan lamanya itu, dan juga terperanjat ketika Tjame mengatakan: "Salam dari Broer" sambil menyerahkan surat itu. Jawaban Somba sangat singkat: "Lebih cepat lebih baik." Alex Kawilarang bersama D.J. Somba saat surat itu diterimanya. Mereka mengirimkan kawat kepada Joop Warouw yang ke Selatan pada bulan Januari untuk membahas pendekatan Ds. A.Z.R. Wenas, Ketua Sinode GMIM, serta masalah² lain dengan Ventje Sumual. Joop Warouw mengirim kawat kembali dengan mengatakan "Kalau bisa hubungan itu diteruskan, tetapi harus menguntungkan kita (djangan sampai kita rugi)."
17 Januari 1960 Pertemuan Ketua Sinode GMIM dengan Kol. J.F. Warouw di desa Remboken. Dalam pertemuan ini, Warouw mengemukakan bahwa perjuangan pemimpin² Permesta bermaksud khusus mengoreksi akan beleid dari Pemerintah Pusat RI, menolak amnesti yang dianjurkan oleh Komandan Operasi Merdeka tanggal 10 Desember 1959 yang lalu, serta berhentinya sikap bermusuhan hanya akan mungkin bila tentara Jakarta ditarik dari Minahasa. Mereka juga tidak menghendaki penyelesaian persengketaan setempat² melainkan penyelesaian secara keseluruhan Indonesia, dan juga ditegaskan bahwa PRRI dan Permesta menentang akan komunisme.
7 Februari 1960 Satu hari sebelum proklamasi Republik Persatuan Indonesia diumumkan maka Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dibubarkan.

[/justify]
Kembali Ke 
Atas Go down
Lihat profil user http://paguyubanpulukadang.forumotion.net
Admin
Admin


Jumlah posting: 2235
Registration date: 31.08.08

PostSubyek: Re: SEJARAH PERMESTA   Tue Feb 17, 2009 6:37 pm

Masa Pergolakan Permesta II (Pemberontakan Republik Persatuan Indonesia)

8 Februari 1960 Proklamasi Republik Persatuan Indonesia (RPI) dikumandangkan hari ini. Proklamasi RPI ini tertunda semenjak tanggal 17 Agustus 1959.
Presiden merangkap Perdana Menteri RPI adalah Sjafruddin Prawiranegara dengan Wakil Perdana Menteri (Waperdam) adalah Muhammad Natsir. Dalam pasal 3 UUDnya disebutkan bahwa wilayah negaranya "meliputi seluruh wilayah Republik Indonesia 17 Agustus tahun 1945".
Tujuan RPI ini adalah untuk mempersatukan PRRI/Permesta dengan DI/TII Daud Beureuh di Aceh dan DI/TII Kahar Mudzakkhar di Sulawesi Selatan. Benderanya tetap merah-putih, namun ada sejumlah bintang di tengah yang mana setiap bintang melambangkan masing² pemberontakan (negar-bagian) saat itu yang berada di bawah RPI.
KSAD RPI Brigjen Ventje Sumual menunjuk Henk Lumanauw sebagai Wali-Negara RPI untuk Sulawesi Utara. RPI ini ditentang dengan keras oleh Waperdam PRRI / Kepala Pemerintahan PRRI di Sulawesi Joop Warouw serta Panglima Besar APREV Alex Kawilarang.
Dalam pengumumannya, Ketua Badan Pekerja Dewan Pertimbangan Pusat (DPP) Permesta, Henk Rondonuwu menolak RPI ini. Meskipun RPI ini telah berdiri, namun di daerah gerilya Permesta sendiri seperti di perbatasan Minahasa - Bolaang Mongondow, masih dilaksanakan Upacara Peringatan HUT RI secara resmi dan dihadiri oleh tokoh² militer dan sipil Permesta. Sedangkan oleh pihak perwira Permesta di sebelah utara seperti Mayjen Alex Kawilarang, Kolonel D.J. Somba, Letkol Wim Tenges, menolak RPI ini, apalagi mengibarkan bendera baru (RPI) di wilayahnya dan tetap memakai lambang² NKRI seperti Pancasila dan Merah Putih dalam logo maupun atribut lainnya. Distrik/WK-III dibawah komando Letkol Wim Tenges memiliki hampir separuh kekuatan pasukan Permesta, dan merupakan WK yang paling kompak dan disiplin dari antara WK lainnya.

Masalah RPI ini berbeda dengan PRRI. Kalau PRRI hanyalah kabinet tandingan, maka RPI lebih merupakan negara dalam negara (negara tandingan). Hal ini memperkuat anggapan sementara orang bahwa gerakan daerah ini adalah gerakan separatisme. Menurut pandangan para pemimpin PRRI dan Permesta, RPI yang lebih banyak merupakan gagasan tokoh² politik, direncanakan sebagai taktik dalam perjuangan PRRI.
Usia RPI sejak direncanakan untuk kemudian diproklamasikan pada September/Februari 1960 hanya 2 tahun.
9 Maret 1960 Seorang Perwira AURI, Letnan Udara II Daniel Alexander Maukar (alias Daantje, alias Danny), menembaki kompleks tangki minyak BPM di Tanjung Priok, Istana Merdeka dan Istana Bogor dengan pesawat jet MIG-17 yang hanya dilengkapi kanon 23mm pada siang hari sekitar pukul 11.30. Kemudian ia mendaratkan pesawatnya di daerah persawahan Kadungoro, Leles (Garut, Jawa Barat) - rencana penyelamatan dirinya akan dibantu oleh anggota DI/TII yang bergerilya di daerah itu (DI/TII saat itu telah masuk dalah negara-bagian RPI) - namun segera tertangkap oleh TNI.
Maksud Danny Maukar adalah untuk memperingatkan Soekarno yang sudah mulai "main mata" dengan PKI, serta menghendaki agar Pemerintah Pusat mau berunding dengan Permesta di Sulawesi.
Rencana ini sebenarnya direncanakan untuk dilakukan pada tanggal 2 Maret 1960 sebagai hari peringatan Proklamasi Permesta, tapi gagal, juga rencana keesokan harinya tanggal 3 Maret, namun gagal lagi. Semua gerakan ini dilakukan oleh seluruh pejuang Permesta Sulut yang berada di Jakarta dengan sandi "Manguni" yang dikomandoi Ventje Sumual bersama² Sam Karundeng dan Danny Maukar.
15 Maret 1960 Pertemuan pertama antara Kolonel D.J. Somba dengan Broer Tumbelaka diadakan hari ini di desa Matungkas, dekat Airmadidi. Broer menegaskan, ia datang sebagai teman lama, meskipun diketahui oleh Kolonel Surachman dan Kolonel Soenarjadi (Kastaf Komando Operasi Merdeka di Sulawesi Utara yang baru), dengan harapan akan dapat membantu memulihkan perdamaian di Minahasa. Yus Somba mengatakan bahwa Joop Warouw selamanya memang menganjurkan bahwa "pintu belakang" dibiarkan terbuka bagi penyelesaian atas pemberontakan PRRI ini, dan bahwa Joop Warouw, Alex Kawilarang, Ventje Sumual, dan dia sendiri sepakat mengenai ini.
23 Maret 1960 Salah satu penasehat politik Waperdam Joop Warouw selaku Kepala Pemerintahan Sipil PRRI di Sulawesi, Prof.Mr. G.M.A (Laan) Inkiriwang, yang adalah Ketua Parlemen PRRI dan Menteri Kehakiman, ditahan Batalyon III/Brigade 999, Pimpinan Mayor Hans Karua (Korowa). Seorang penasehat politik Joop Warouw, Prof.Mr. G.M.A. Inkiriwang (juga sebagai Ketua Parlemen/Menteri Kehakiman) hari ini ditahan oleh Mayor Hans Korua, Komandan Batalyon 3/Brigade 999 pimpinan Jan Timbuleng.
Sejumlah Menteri Kabinet PRRI juga telah ditangkap (Ir. Herling Laoh/mantan menteri Pekerjaan Umum RI, Wilhem Pesik, Otto Rondonuwu, dll - walau akhirnya dibebaskan kembali).
Peristiwa itu didahului oleh tertangkapnya seorang kurir Joop Warouw yang membawa surat kepada Kolonel D.J. Somba yang isinya kecaman terhadap Jan Timbuleng, yang ditangkap oleh salah satu satuan Jan Timbuleng. Akibat peristiwa ini, penekanan terhadap keluarga serta pejabat sipil dimulai. Sejak itulah situasi menjadi semakin mencurigakan antara para perwira Permesta. Joop Warouw kemudian bertemu dengan Letkol J.M.J. (Nun) Pantouw, perwira intel KSAD Ventje Sumual (Assisten I/Intelejen KSAD RPI) dan Gerson Sangkaeng, Komandan Batalyon 2/Brigade 999. Hasil pertemuan itu, Nun Pantouw bersedia memberi bantuan satu satuan pasukan tambahan kepada Joop Warouw untuk meninggalkan wilayah kekuasaan Jan Timbuleng yang diketahui beraliran kiri tersebut.

Pasukan Brigade 999 (Triple Nine) waktu itu menjadi terkenal sebagai pasukan tukang lucut karena rencana dan kegiatan yang disebut "matchts vorming".
27 Maret 1960 Gerakan yang dilakukan oleh beberapa anggota Pusat Kaveleri (a.l. Letnan Togas) di Bandung yang bermaksud untuk memaksa Pemerintah Pusat agar mengadakan perundingan dengan pihak Permesta di Sulawesi.
30 Maret 1960 Sistem pemerintahan daerah otonom Daerah Tingkat I Sulawesi Utara sesungguhnya dimulai hari ini pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah RI No.5/Tahun 1960 yang menetapkan pembagian wilayah administratif provinsi Sulawesi menjadi dua wilayah administratif masing² provinsi Sulawesi Utara-Tengah (Sulutteng) dan provinsi Sulawesi Selatan-Tenggara (Sulseltra). Arnold A. Baramuli, SH ditunjuk sebagai pejabat Gubernur Sulawesi Utara dan Tengah.
5 April 1960 Kepala Pemerintahah Sipil Permesta/Kepala Pemerintahan PRRI di Sulawesi Joop WAROUW, ditangkap dan ditahan oleh Batalyon 7/Brigade 999 pimpinan Kapten Robby Parengkuan. Dalam peristiwa itu, kedua lutut Joop Warouw ditembak. Kemudian lututnya tersebut dibiarkan membusuk. Data ini menurut beberapa sumber intel Angkatan Darat TNI serta kesaksian beberapa orang pejabat pemerintahan sipil.
Menurut saksi mata, rombongan Joop Warouw seusai mengadakan pertemuan puncak di Tompaso Baru, rombongan itu dibagi dua oleh pasukan 999 (Triple Nine). Yang pertama disuruh menempuh suatu arah tertentu, yang ternyata menuju lokasi posko KSAD sedangkan rombongan yang kedua, yaitu rombongan Joop Warouw disuruh menuju ke daerah Brigade 999 di sekitar sungai Ranoyapo. Di suatu tempat, Joop Warouw dipisahkan dari rombongan terakhir ini, lalu dia ditembak lututnya. Sedangkan rombongan yang ditinggalkannya langsung diberondong dengan tembakan² sehingga semuanya tewas, termasuk diantaranya sekretaris Waperdam Joop Warouw, yaitu Nona Dolly Ompi dan Bupati Gorontalo Sam Bia, Danny Lumi, beberapa kerabat Joop Warouw, 3 orang penghubung, serta 3 orang mantri. Namun, seorang pengawal Joop Warouw berhasil melarikan diri, karena pada saat itu tubuhnya ditindih oleh mayat rekannya yang lain dan berpura² mati. Kemudian katanya orang tersebut menjadi saksi atas peristiwa yang menimpa Joop Warouw.

(Menurut pengakuan beberapa sumber/saksi mata, Joop Warouw ditangkap atas perintah KSAD, karena ia menentang berdirinya RPI yang akan memisahkan diri dari NKRI).
14 April 1960 Broer Tumbelaka bertemu dengan KSAD TNI Jenderal A.H. Nasution dan mendapat dukungan sepenuhnya untuk melanjutkan usaha mencapai suatu penyelesaian.
29 April 1960 Sidang terakhir Mahkamah Militer AURI terhadap terdakwa Allan Lawrence Pope, bekas pilot pesawat B-26 AUREV, pada hari ini memutuskan, bahwa bersangkutan dijatuhi hukuman mati.
20 Mei 1960 Hari ini resmi berdiri Kotapraja Gorontalo.
Tahun 1953, Sulawesi Utara menjadi daerah otonom berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1953. Daerah Bolaang Mongondow terpisah menjadi daerah otonom tingkat II pada tahun 1954, sehingga daerah Sulut wilaysah Gorontalo hanya meliputi bekas kawasan Gorontalo dan Buol yang berpusat di Gorontalo. Berdasarkan UU No 29/1959, maka daerah Sulut yang dimaksud dengan PP No 11/1953 dipisahkan menjadi daerah tingkat II, meliputi Daerah Kotapraja Gorontalo dan Daerah Tingkat II setelah dikurangi Swapraja Buol. Selanjutnya pada tanggal 20 Mei 1960, resmi berdiri Kotapraja Gorontalo dan pada tahun 1965 berubah menjadi Kotamadya Gorontalo.
25 Mei 1960 Hari ini, F.J. (Broer) Tumbelaka diangkat sebagai Wakil Gubernur provinsi Sulawesi Utara.
16 Juli 1960 Danny A. Maukar diseret dalam pengadilan Mahkamah Militer Angkatan Udara RI (AURI) dengan didampingi pengacaranya yaitu Hadeli Hasibuan dan dijatuhi hukuman mati dalam keadaan perang.

Sidang Mahkamah Militer
DA Maukar & Sam Karundeng
Kembali Ke 
Atas Go down
Lihat profil user http://paguyubanpulukadang.forumotion.net
Admin
Admin


Jumlah posting: 2235
Registration date: 31.08.08

PostSubyek: Re: SEJARAH PERMESTA   Tue Feb 17, 2009 6:38 pm

17 Agustus 1960 Keppres No.200/Th.1960 dan No.201/Th.1960 tanggal 17 Agustus 1960, tentang pembubaran partai politik Masjumi (Majelis Sjuro Muslimin Indonesia) dan PSI (Partai Sosialis Indonesia), karena "organisasi itu melakukan pemberontakan, karena pemimpin²nya turut serta dengan pemberontakan apa yang disebut dengan 'PRRI' atau 'RPI' atau telah jelas memberikan bantuan terhadap pemberontakan".

Dalam pidato peringatan Hari Proklamasi Kemerdekaan RI yang ke-15, Presiden Soekarno memaklumkan pemutusan hubungan diplomatik dengan Belanda, yang merupakan tanggapan atas sikap Pemerintah Belanda yang dianggap tidak menghendaki penyelesaian secara damai mengenai pengembalian wilayah Irian Barat kepada Indonesia.
Meskipun Republik Persatuan Indonesia (RPI) telah didirikan oleh tokoh² PRRI, namun di daerah gerilya Permesta sendiri seperti di perbatasan Minahasa - Bolaang Mongondow, masih dilaksanakan Upacara Peringatan HUT Republik Indonesia secara resmi yang dihadiri oleh tokoh² militer dan sipil Permesta.
Awal Oktober 1960 Menurut sebuah sumber, peristiwa berkaitan dengan ditangkapnya Joop Warouw adalah sbb:
Setelah Kepala Pemerintahah Sipil PRRI, Kol. J.F. "Joop" WAROUW ditangkap oleh Batalyon 7/Brigade 999 pimpinan Kapten Robby Parengkuan, maka KSAD RPI Ventje Sumual memanggil Jan Timbuleng, Komandan Brigade 999. Timbuleng berkenan, asal Joop Warouw juga diajak secara resmi. Maka Sumual pun membuat surat panggilan yang digunakan Jan Timbuleng untuk mencegah Joop Warouw untuk meninggalkan wilayah kekuasaannya.
Padahal, secara diam² melalui Kapten J.Lisangan, Komandan Batalyon 1/Brigade 999, Sumual berhasil mengumpulkan informasi tentang diri Warouw. Ternyata, selain Joop Warouw, juga telah ditahan sejumlah menteri kabinet. Dari Jan Timbuleng diketahui, penangkapan itu dilakukan karena melihat Joop Warouw telah memihak dan mendukung tokoh² Permesta di wilayah utara Minahasa.
8 Oktober 1960 KSAD RPI Ventje Sumual mengadakan rapat di Markas Besar Permesta di perkebunan Lindangan(?) - Tompaso Baru.
Jan Timbuleng, Komandan Brigade 999 (Triple Nine) datang dengan Batalyon 3 dengan komandannya Mayor Hans Korua (KOROWA) dan Batalyon 4 dengan komandannya Benny Pandeiroth. Ketika itu, Timbuleng dan pasukannya tanpa sadar, jika sebetulnya pertemuan itu merupakan suatu taktik untuk menahannya. Ia juga tidak curiga, kalau Komandan Batalyon 1 - J. Lisangan dan Komandan Batalyon 2 - Gerson Sangkaeng dan seluruh pasukannya tidak lagi setia mendukungnya. Karena itu, sementara Ventje Sumual membuat pertemuan dengan Jan Timbuleng dan perwira²ya, satuan Gerson Sangkaeng melakukan pelucutan senjata atas pasukan² Jan Timbuleng yang tengah menunggu di luar. Mereka tidak mencurigai Gerson, karena mereka pikir, ia salah satu dari mereka juga. Dan sebagai akhir dari pelucutan itu, Gerson Sangkaeng memberi isyarat dengan menembakkan sebuah senapan mesin (50pt). Ketika itu juga, Sumual mengakhiri rapatnya, dan begitu Jan Timbuleng serta perwira²nya melewati depan gardu pos, pasukan Sumual pun menawannya.
Semula niat Ventje Sumual hendak membawa Jan Timbuleng dan sejumlah perwira Brigade 999 ke pengadilan militer. Namun sebelum itu terjadi, Jan Timbuleng yang tengah ditawan di tingkat atas sebuah rumah panggung, berhasil merebut senjata dari seorang pengawal dan melompat keluar jendela dan terbang ke atas rumpun bambu di dekat situ (dengan ilmu/jimat terbangnya) sembari berteriak minta bantuan. Kemudian seorang tentara pelajar asal Ambon (pelajar PTPG Tondano) yang tidak memiliki pegangan jimat diperintahkan untuk melepaskan tembakan ke tubuh Jan Timbuleng (dengan prosedur adat) yang tengah mengudara (karena katanya orang yang memegang jimat tidak akan mempan untuk membunuh Timbuleng). Jan Timbuleng yang dikenal kebal peluru (selama dia berdiri di atas tanah), pada saat itu juga tewas. Dari saku celananya berhasil didapat sebentuk cincin, sebuah arloji milik Joop Warouw, foto² keluarga Warouw dan sejumlah surat dari J.Piet Mongula, Walikota Manado yang juga diketahui beraliran kiri/komunis (tanggal kematian Jan Timbuleng ini simpang siur. Ada yang mengatakan sehari setelah ia ditangkap tanggal 8 Oktober, sementara Goan Sangkaeng mengatakan bahwa ia dibunuh tanggal 10 Oktober. Namun kepastiannya adalah sekitar satu atau dua hari setelah penahanannya).
Kematian Timbuleng membuat sejumlah perwira bawahannya mencoba untuk melarikan diri dari markas Sumual. Beberapa diantaranya, seperti Robby Parengkuan dan sejumlah anak buahnya berhasil melarikan diri dan kembali ke markas dimana Joop Warouw ditawan.
Sadar akan hal itu, Ventje Sumual pun mengirim pasukan untuk menyelamatkan Joop Warouw. Namun usaha tersebut sia² karena Joop Warouw telah dihabisi terlebih dahulu oleh anak buah Robby Parengkuan.


Brigade 999: Jan Timbuleng di tengah, gemuk & berbaret,
serta Gerson (Goan) Sangkaeng di paling kanan
Kembali Ke 
Atas Go down
Lihat profil user http://paguyubanpulukadang.forumotion.net
Admin
Admin


Jumlah posting: 2235
Registration date: 31.08.08

PostSubyek: Re: SEJARAH PERMESTA   Tue Feb 17, 2009 6:39 pm

13 Oktober 1960 Pertemuan perundingan lanjutan antara Permesta dan Pemerintah Pusat gagal diadakan hari ini di Lahendong - Tomohon. Yang hadir di pertemuan ini yaitu Kolonel D.J. Somba (Selaku Komandan KDM-SUT), Letkol tituler A.C.J. Mantiri (Sekjen Dephan Permesta), Kolonel Lendy R. Tumbelaka (Saudara sepupu Broer Tumbelaka), Wagub Broer Tumbelaka yang didampingi ayah Joop Warouw yang ingin mendapat keterangan mengenai anaknya.
15 Oktober 1960

Joop Warouw
Kepala Pemerintahan PRRI di Sulawesi, Waperdam Joop WAROUW dieksekusi di daerah Tombatu oleh salah satu anak buah Kapten Robby Parengkuan bernama Hemanus Jus dari Batalyon 7/Brigade 999, atas perintah lisan Jan Timbuleng sebagai Komandan Brigade 999.
Hal ini dikarenakan Joop Warouw tidak mau menandatangani naskah surat perintah tentang pengangkatan Jan Timbuleng menjadi Panglima KDM-SUT (Komando Daerah Militer Sulawesi Utara-Tengah) menggantikan Kolonel D.J. Somba (selain atas sebab lain yaitu Jan Timbuleng yang tewas).
Akibat peristiwa ini, terjadilah krisis kepemimpinan dalam tubuh Permesta. Pasukan Permesta di wilayah Utara sudah tidak lagi mengakui kepemimpinan KSAD RPI Brigjen Ventje Sumual. Perwira Permesta di wilayah Utara sepakat untuk kembali ke asalnya yaitu Angkatan Perang Permesta, bukan lagi mengusung nama PRRI, karena pemerintahan tandingan ini telah bubar, serta pimpinan pemerintahan sipil PRRI dan Permesta di Sulawesi, yaitu Joop Warouw, sudah terbunuh.
Robby Parengkuan serta sekitar seribu anggota bersama keluarga Batalyon 7/Brigade 999 lalu menyerahkan diri kepada pasukan Tentara Pusat.

(Namun, berdasarkan beberapa sumber, kematian Joop justru berkaitan erat dengan sikap Joop Warouw yang tetap mengakui PRRI, dan menolak negara baru RPI di dalam NKRI, serta memberikan surat cuti dinas kepada KSAD Ventje Sumual - hal mana membuat Sumual berang).
(Jenasahnya dicari² atas perintah Presiden Soekarno, lalu Gubernur Sulut H.V. Worang, dan Presiden Soeharto, namun gagal. Baru ditemukan tanggal 20 Agustus 1962 oleh Tim bentukan Ketua Sinode GMIM, Pdt. K.H. Rondo).



Masa anti-Klimaks Permesta (Likuidasi Permesta)

November 1960 Jenderal Mayor Alex Kawilarang, yang sebelumnya menolak pengangkatan PRRI atas dirinya sebagai KSAP, bulan ini mengambil alih seluruh komando pasukan Permesta atas desakan para perwira Permesta di Utara. Kekuasaan KSAD RPI Brigjen Ventje Sumual tidak diakui lagi. Dengan demikian, nama yang dipakai oleh pasukan Permesta di Minahasa Utara adalah Angkatan Perang Permesta, bukan lagi mengusung nama Angkatan Perang Revolusioner PRRI, karena PRRI telah dibubarkan sehari sebelum RPI berdiri.
Jenderal Mayor Alex E. Kawilarang secara resmi menjadi Panglima Besar Angkatan Perang Permesta. Sedangkan jabatan Kepala Staf Angkatan Perang Permesta, dia menunjuk Kolonel Dolf Runturambi untuk menjabatnya.
Kolonel Dolf Runturambi mengungsi ke wilayah Utara karena ada ancaman mati dari Brigade 999, walau dalam perjalanannya ke Utara, ia dengan segala alasan, hanya dilucuti senjatanya. Ia mengirimkan surat kepada Jan Timbuleng dan Laurens Saerang masing² sebagai komandan Brigade 999 (Triple Nine atau 3x9 atau Tiga-Sembilan) dan komandan Brigade Manguni untuk meminta jaminan keselamatan akan rombongannya untuk melewati wilayah mereka, padahal ia melewati pantai barat Minahasa melewati pegunungan Lolombulan di daerah Motoling.
4 Desember 1960 Setelah berita terbunuhnya Kepala Pemerintahan Sipil PRRI di Sulawesi merangkap Waperdam/Menteri Pertahanan Joop Warouw tersiar, maka mulai hari ini, Panglima Besar Angkatan Perang Permesta Alex Kawilarang memerintahkan kepada seluruh pasukan dan pemerintahah sipil Permesta agar diadakan tujuh hari berkabung bagi alm. Joop Warouw.
Berita kematian Joop Warouw ini sudah diketahui kedua belah pihak (pasukan Permesta dan Tentara Pusat) pada saat menjelang bulan November lalu.
13 Desember 1960 Melihat pertumbuhan yang pesat disegala bidang baik di sektor pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan, Pemerintah Pusat menganggap perlu mengubah sebutah provinsi Sulawesi Utara Tengah menjadi Daerah Tingkat I (Dati I atau Daerah Swantara tingkat Pertama) Sulawesi Utara Tengah dengan dikeluarkannya Undang² Darurat No. 47 Prp. Tahun 1960.
Gubernur Sulawesi Utara (Sulutteng) yang baru -pertama kali (versi Pemerintah Pusat) adalah Arnold Achmad Baramuli, SH. yang dijabat dari tanggal 23 September 1960 sampai 15 Juni 1962 yang adalah gubernur termuda di Indonesia saat itu (30 tahun). Sebelumnya ia adalah Jaksa Distrik Militer provinsi Sulawesi dan wilayah Indonesia Timur dengan pangkat Letkol Tituler.
15 Desember 1960 Brigjen Ventje Sumual mengirimkan kawat kepada para komandan distrik (WK) dan batalyon Permesta, dengan perintah agar jika benar laporan mengenai pertemuan pimpinan² tertentu tentara RPI (PRRI telah dibubarkan sebelumnya) dengan musuh, tindakan demikian harus dianggap sebagai pengkhianatan, dan harus dilancarkan usaha untuk mencegahnya (dibunuh).
Ventje Sumual memang tidak diajak berunding oleh perwira Permesta di Minahasa Utara dengan Pemerintah Pusat.
17 Desember 1960 Pada pertemuan hari ini antara F.J. (Broer) Tumbelaka, A.C.J. (Abe) Mantiri, Arie W. Supit, persetujuan dicapai mengenai prosedur yang akan diambil untuk mengakhiri pemberontakan. Langkah² yang akan diambil sebagai berikut:
1) seruan oleh Menteri Pertahanan/Kepala Staf Jenderal A.H. Nasution kepada kaum pemberontak agar kembali ke pangkuan ibu pertiwi;
2) pernyataan resmi dari pihak Permesta bahwa mereka telah kembali ke "pangkuan Ibu Pertiwi";
3) gencatan senjata (cease-fire);
4) pertemuan resmi untuk membahas masalah² teknis militer seperti masalah pembekalan dan penempatan pasukan Permesta di daerah² yang ditentukan;
5) inspeksi atas bekas pasukan Permesta oleh Menteri Pertahanan/Kepala Staf A.H. Nasution. KSAD TNI Jenderal A.H. Nasution secara pribadi menjamin kepada Broer Tumbelaka, bahwa ia "tetap kuat untuk membela terhadap tarikan kiri-kanan", dan dalam sebuah pidatio yang disiarkan RRI Manado pada hari ini, ia membahas hal ini dan lain² hal yang penting dalam perundingan antara Permesta dan TNI. Ia mengumumkan ditetapkannya peraturan yang memberikan hak otonomi kepada provinsi Sulawesi Utara-Tengah yang akan berlaku sejak Januari 1961.
1961 Dalam data statistik Sensus Penduduk 1961, penduduk Minahasa pada tahun 1961 berjumlah 581.836, sudah termasuk Kota Manado sebanyak 129.912 jiwa.
Awal tahun 1961 Wakil Gubernur Sulutteng F.J. (Broer) Tumbelaka, berkunjung ke desa Malenos untuk menugaskan Victor Adoelf Tutu sebagai Hukum Tua (=kuntua / kepala desa) Desa Malenos untuk menjadi penghubung antara pemerintah dan pasukan Permesta, dan mencari lokasi yang aman untuk tempat mengadakan perundingan.

Perundingan pertama, diadakan di perkebunan Ritey, dekat hulu Sungai Malenos. Pihak pemerintah diwakili Broer Tumbelaka sebagai Wakil Gubernur Sulut, sedangkan pihak Permesta diwakili oleh Johan Tambajong. Perundingan ini menghasilkan kesepakatan untuk mengadakan perundingan lanjutan di desa Malenos dan akan mempertemukan pimpinan pasukan Permesta dan TNI.

Perundingan lanjutan diadakan di gedung Gereja GMIM Malenos, yang dihadiri utusan pemerintah RI adalah Wagub Broer Tumbelaka dan Perwira Staf Kodam XIII/Merdeka, Kol. Supangat. Sedangkan utusan Permesta diwakili oleh Johan Tambajong dan Wim Tenges selaku Komandan Brigade WK III. Selama perundingan berlangsung, keamanannya dijaga ketat oleh pasukan Batalion A/Kompi Buaya di bawah pimpinan Kapten Permesta Anthon Tenges. Perundingan berjalan baik dimana masing² pihak saling memahami dan berjabat tangan, maka lahirlah persetujuan perdsamaian untuk mengakhiri perang saudara. Dalam perundingan tersebut, telah diputuskan bersama untuk mengadakan gencatan senjata dan upacara pembuatan naskah perdamaian antara pemerintah RI dengan pasukan Permesta, dan disepakati diadakan di Desa Malenos Baru yang sekarang ini sudah jadi pemukiman penduduk. Jarak dari Desa Malenos ke Desa Malenos Baru cukup dengan menempuh kira² 1.500 meter.
11-15 Februari 1961 Dalam periode waktu ini, ada 11.343 orang dari Brigade Manguni dibawah komando Kepala Daerah Minahasa Permesta Letkol Laurens F. Saerang, anggota Pasukan Wanita Permesta (PWP) dan orang² dari lima pangkalan gerilya di Langowan-Kakas, dibawah pimpinan Laurens F. Saerang, menyerah kepada Pemerintah Republik Indonesia.
Mereka diterima dalam suatu upacara resmi pada tanggal 15 Februari 1961 oleh Brigjen Ahmad Yani (wakil KSAD TNI, serta Kepala Komando Wilayah Indonesia Timur sejak Januari 1960).
Laporan terakhir menyatakan, ada 6.000 pasukan, 2.000 pengikut, serta 1.003 senjata diserahkan pada saat itu.
12 Februari 1961 Pertemuan di desa Malenos diadakan antara Broer Tumbelaka dengan perwira Permesta seperti Yus Somba, Lendy Tumbelaka, dan Abe Mantiri. Broer mendesak agar suatu persetujuan akhir diputuskan dengan cepat. Sebelumnya, Broer menulis sebuah surat yang panjang kepada D.J. Somba yang mendesak agar suatu persetujuan akhir diputuskan dengan cepat.
4 Maret 1961 Di Jakarta dilangsungkan penandatanganan perjanjian pembelian senjata dari Uni Soviet kepada Pemerintah Pusat Indonesia atas dasar kredit jangka panjang. Pembelian senjata tersebut adalah pembelian senjata terbesar yang pernah dilakukan dari luar negeri sampai saat itu. antara lain: 275 tank, 560 kendaraan militer untuk Angkatan Darat; lebih dari 150 pesawat berbagai jenis untuk Angkatan Udara; 4 corvet, 24 kapal torpedo, 2 kapal selam dan lain² untuk Angkatan Laut.
Bantuan perlengkapan senjata dari Blok Uni Soviet dan Eropa Timur dalam jumlah begitu besar, menyebabkan pemerintah Amerika Serikat meninjau kembali politik permintaan senjata Amerika Serikat oleh Indonesia.
31 Maret 1961 Pamplet yang berisi seruan KSAD TNI Jenderal A.H. Nasution disebarkan sejak hari ini, dan bahwa upacara penandatanganan resmi pernyataan Kolonel Permesta D.J. Somba mengenai kembalinya ke pangkuan Republik Indonesia akan dilangsungkan pada tanggal 4 April, dan gencatan senjata akan berlaku sejak 11 April.
April 1961 Menurut keterangan Jenderal Nasution, dalam perang melawan tentara Permesta banyak korban yang jatuh dari pihak TNI. Dikatakan, rata² tiap hari jatuh 5 orang korban di pihak TNI. Berdasarkan keterangan ini dapat diperkirakan jumlah kerugian nyawa yang diderita Tentara Pusat sejak Februari 1958 sampai Maret 1961, yaitu 3 thn x 365 hari x 5 orang = ±5.475 orang.
2 April 1961 Pertemuan pendahuluan di desa Lopana/Tumpaan (dimana Permesta diwakili oleh Panglima Besar Permesta Mayjen Permesta Alex Kawilarang serta Pemerintah Pusat diwakili oleh Deputi I KSAD, Brigjen TNI Ahmad Yani) guna menjajaki rapat "Penyelesaian Permesta".
Selain itu juga diadakan pertemuan antara Kolonel Permesta D.J. Somba dan Kolonel TNI Soenandar Priosudarmo di Lopana.
3 April 1961 Pasukan Zeni Kodam XIII/Merdeka membuat suatu lapangan untuk tempat upacara pertemuan pendahuluan penyelesaian Permesta.
Tempat itu sekarang yakni berada di sekitar rumah Gereja GMIM Eben Haezer Malenos Baru.
Kembali Ke 
Atas Go down
Lihat profil user http://paguyubanpulukadang.forumotion.net
Admin
Admin


Jumlah posting: 2235
Registration date: 31.08.08

PostSubyek: Re: SEJARAH PERMESTA   Tue Feb 17, 2009 6:41 pm

4 April 1961 Upacara Perdamaian Permesta dan Pemerintah Pusat.
Penyelesaian masalah Pergolakan Permesta di Malenos Baru (saat itu masih berupa hutan jati), Amurang, yaitu Upacara Penandatangan Kembalinya Pasukan Permesta dari Mayor D.J.Somba selaku Komandan KDM-SUT kepada Ibu Pertiwi. Pembacaan pernyataan dibacakan oleh Drs. Andri Sampow (waktu itu masih sebagai mahasiswa).
Pihak TNI diwakili Panglima Kodam XIII/Merdeka, Kolonel Soenandar Priosudarmo, dan pihak Permesta diwakili oleh Kolonel (Permesta) Lendy R. Tumbelaka dan Letkol tituler A.C.J. Mantiri (bekas direktur Pelayaran Rakyat Indonesia di Manado, yang tak lain adalah suami dari sepupu Alex Kawilarang) sebagai perunding utama dari Permesta, disamping Panglima Besar Mayjen (Permesta) Alex E. KAWILARANG dan Kolonel (Permesta) D.J. SOMBA.
Panglima Kodam XIII/Merdeka, Kolonel Soenandar Priosudarmo didampingi Kepala Kepolisian Sulutteng, Drs. Moerhadi Danuwilogo, komandan Tim Perjuangan Resimen, Letkol Sampurno, serta beberapa perwira lain dari Kodam XIII. Selain Komandan KDM-SUT, Kolonel Permesta D.J. (Yus) Somba, Permesta juga diwakili oleh Deputi III Panglima Besar Permesta, Kolonel Permesta Lendy R. Tumbelaka, Kolonel Permesta Wim Tenges, dan Sekjen Dephan Permesta, Letkol tituler Permesta A.C.J.(Abe) Mantiri.
Upacara ditutup dengan berbarisnya sepasukan Permesta (kompi) dari Kapten Lengkong Worang dari Sekolah Pendidikan Angkatan Darat (SPAD) Permesta, yang meski ada diantara mereka yang tidak bersepatu, persenjataannya lengkap.
Surat Pernyataan penghentian tindak permusuhan Permesta-TNI di Minahasa, disaksikan Panglima Besar Angkatan Perang Permesta Jenderal Mayor Alex Kawilarang disatu pihak dan Jenderal Mayor TNI Hidayat dan Panglima KDM XIII/Merdeka Kolonel Soenandar Priosoedarmo pada pihak lain, yang lengkapnya berbunyi sebagai berikut:

1. Setelah membatja seruan Menteri Keamanan Nasution/KSAD tertanggal 3 Maret 1961;
2. Mengingat keputusan terachir dari putjuk pimpinan Angkatan Perang Revolusioner;
3. Menimbang, bahwa persengketaan antara kita dengan kita jang telah berlangsung selama 3 tahun ini, telah meminta pengorbanan jang tidak terhingga dari rakjat Indonesia pada umumnja dan rakjat Sulawesi Utara dan Tengah pada chususnja sehingga kami telah sampai pada kesimpulan bahwa keadaan sematjam ini tidak dapat dibiarkan terus;
4. Demi untuk keselamatan dan kesentosaan bangsa Indonesia, rakjat dan daerah Sulawesi Utara/Tengah chususnja, persengketaan tersebut perlu segera dihentikan. Maka oleh karenanja dengan ini menjatakan bahwa mulai tanggal 4 April 1961, kami dengan seluruh pasukan dan rakjat Permesta jang berada dalam lingkungan pimpinan kami telah kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi;
5. Segala persoalan jang timbul sebagai akibat daripada penghentian persengketaan ini, akan diatur oleh jang diwajibkan untuk itu oleh pemerintah RI;
6. Semoga Tuhan Jang Maha Esa melimpahkan rahmat, hidajat serta taufikNja atas kita sekalian.

Ditempat, 4 April 1961
Panglima KDMSUT
(D.J. Somba)
Dengan demikian terhitung mulai hari ini, Permesta sudah dinyatakan berakhir, dan telah berdamai dengan pusat tanpa ada yang kalah, maupun menang.
Penting untuk dicatat, bahwa Yus Somba menandatangani dokumen² ini sebagai Komandan KDM-SUT, meski secara resmi sudah dibubarkan pada 23 Agustus 1958; hal ini berarti ia dan pasukan Permesta yang menyerahkan diri itu diakui sebagai bekas anggota TNI.
Untuk penyaluran para ex-Permesta diatur dalam dokumen "Ketentuan² Mengenai Penjaluran ex-Anggota Permesta" tertanggal 4 April 1961.
penyelesaian_pasukan03
11 April 1961 Gencatan senjata (cease-fire) antara pasukan Permesta dan Tentara Pusat dilakukan hari ini.
14 April 1961 Upacara defile "Penyelesaian" penyambutan kembalinya Permesta ke pangkuan RI secara resmi diadakan di Susupuan, yaitu perbatasan kota Tomohon dengan Desa Woloan, yang mana GMIM selaku fasilitator yang mempersiapkan lahan upacara pertemuan.
Sekitar 30.000 tentara Permesta di Sulawesi Utara saat itu keluar dari hutan² setelah diadakan perundingan damai antara Permesta-Pemerintah Pusat.
Dalam upacara tersebut, disiapkan pasukan Permesta dan TNI masing² berkekuatan satu brigade, berparade di lapangan upacara Woloan. Hadir dalam parade tersebut, utusan pusat Wakil Menteri Pertahanan Mayjen TNI-AD Hidayat (perwira senoir TNI-AD), Brigjen TNI Ahmad Yani, Panglima Kodam XIII/Merdeka Kolonel TNI Soenandar Priosoedarmo beserta staf, dan petinggi Permesta; Panglima Besar Permesta Mayjen Alex E. Kawilarang, KSAP Permesta Kolonel Dolf Runturambi, Kastaf AUREV Kolonel AUREV Petit Muharto Kartodirdjo, Panglima KDM-SUT Kolonel Permesta D.J. Somba, Komandan WK-III Kolonel Permesta Wim Tenges, Staf Markas Komando Permesta, a.l. Kolonel Permesta Lendy R. Tumbelaka, Letkol tituler Permesta A.C.J. Mantiri (Sekjen Dephan Permesta), staf komando Angkatan Perang Permesta lainnya, atase² militer negara asing antara lain Kolonel George Benson dari Kedubes Amerika Serikat (yang dulunya ikut mengkoordinasikan penyaluran senjata kepada Permesta), Gubernur Sulutteng Arnold A. Baramuli, SH, Wagub F.J. (Broer) Tumbelaka, dan stafnya, anggota pemerintahan setempat, serta masyarakat. Parade diadakan dua kali, yaitu untuk Wakil Menteri Pertahanan RI Mayjen TNI Hidayat dan kedua kalinya untuk Panglima Besar Permesta Mayjen Alex E. Kawilarang.
Dalam upacara ini juga WAKASAD (Wakil KSAD) Mayjen TNI Hidayat menerima Mayjen Permesta Alex E. Kawilarang sebagai seorang teman lamanya, selain beberapa perwira seperti Pangdam XII/Merdeka Kolonel TNI Soenandar dengan Kastaf Angkatan Perang Permesta, Kolonel Permesta Dolf Runturambi, yang adalah sekelas di SSKAD 54/55.
Alex Kawilarang sulit menyembunyikan kekesalannya terhadap Bung Karno. Hal itu tersirat dari percakapan awal pertemuannya dengan JJ Pitoy yang dihadiri wartawan S.E.Panggey, begitu berjabat tangan, langsung membuka percakapan dengan kata²: "Bagaimana dengan Soekarno-mu ?" Ia terus melanjutkan kata² yang bernada sindiran terhadap Bung Karno begitu berjabat tangan tangan dengan S.E.Panggey yang oleh Mr J.J.Pitoy diperkenalkan sebagai wartawan Permesta yang baru saja keluar bui (penjara) (sekitar 2 tahun berada dalam tahanan karena sebagai wartawan, S.E.Panggey telah ikut mendarat ke Morotai dengan Permesta pimpinan Mayor Nun Pantouw.

Kapal terakhir yang membawa perbekalan bagi Angkatan Perang Permesta tiba saat upacara defile ini berlangsung, yang disebut Permesta sebagai "Apel para Pahlawan". Setelah upacara, Petit Muharto pergi ke luar negeri dengan kapal ini ke Singapura dan baru kembali ke Indonesia setelah 1966. Setelah itu, perwira Permesta kembali ke markas. Beberapa hari kemudian, markas Staf Angkatan Perang Permesta dipindahkan ke Tara-tara. Urusan administrasi personil dan pasukan Permesta dikerjakan di Taratara dan Woloan. Para anggota pasukan Permesta kemudian diberhentikan dengan hormat dari dinas militer Permesta, dan diberikan piagam pemberhentian yang dimaksud (piagam tersebut tertulis "Panglima Besar - Angkatan Perang Permesta : Alex Kawilarang - Jenderal Mayor). Likuidasi Pasukan Permesta ini dilakukan sampai pada sekitar bulan September tahun itu. Hubungan dengan Kodam XIII/Merdeka dilakukan dengan kurir. Keluarga² sudah boleh mengunjungi keluarga mereka di kota dan dapat tingal bersama keluarga yang menampungnya. Anggota² pasukan Permesta tetap berada di daerah² yang didudukinya. Mereka tidak diperkenankan keluar daerahnya tanpa izin dari komandan masing² dan komandan pasukan TNI di daerah dekat. Membawa senjata keluar daerah masing² tidak diperkenankan.

penyelesaian_pasukan1
Defile tentara Permesta diterima Brigjen Ahmad Yani
April 1961 Kolonel (Permesta) D.J. Somba dan pasukannya memimpin suatu aksi pemberontakan.
(Kelak setelah mendapat amnesti serta dikarantinakan politik selama 10 hari di Jakarta, kemudian menerima kembali pangkat resmi sebagai Mayor TNI dan pensiun dengan pangkat terakhir Letnan Kolonel).
Menurut keterangan Jenderal A.H. Nasution, dalam perang melawan tentara Permesta banyak korban yang jatuh dari pihak TNI. Dikatakan, rata² tiap hari jatuh 5 orang korban di pihak TNI. Berdasarkan keterangan ini dapat diperkirakan jumlah kerugian nyawa yang diderita Tentara Pusat sejak Februari 1958 sampai Maret 1961, yaitu 3 thn x 365 hari x 5 orang = 5.475 orang.
12 Mei 1961 Pertemuan diadakan di rumah Keluarga Hans Tular di Tomohon mulai pukul 09.00 antara Panglima Besar Permesta Mayor Jenderal (Permesta) Alexander Evert Kawilarang dengan Kepala Staf TNI-AD Jenderal (TNI) Abdul Haris Nasution, yang turut dihadiri oleh seorang perwira CPM, KSAP Permesta Kolonel Dolf Runturambi, Sekjen Permesta Letkol tituler A.C.J. (Abe) Mantiri.
Mengenai penyelesaian pasukan Permesta, KSAD TNI Jenderal A.H. Nasution menjelaskan:

* (a) perwira² bekas TNI tetap akan memiliki tanda pangkat TNI yang dimilikinya pada 17 Februari 1958;
* (b) perwira² yang sekarang mempunyai tanda pangkat yang lebih tinggi dari pangkat 17 Februari 1958, dapat diterima kalau sesuai dengan jabatan yang dipegangnya sekarang;
* (c) komandan² kompi/regu/peleton yang bukan ex. TNI akan dimasukkan dalam pendidikan untuk jabatan² yang mereka duduki sekarang; pemuda yang menjadi anggota pasukan akan diberikan pendidikan militer;
* (d) pelajar² boleh kembali ke bangku sekolah;
* (e) mengenai angkatan lain seperti Polri-AURI-ALRI mereka boleh kembali ke kesatuan masing² setelah melapor kepada sebuah panitia yang akan dibentuk bersama antara TNI dan Permesta;
* (f) anggota² pemerintahan sipil dapat kembali ke jawatannya semula sesuai dengan ketentuan yaitu, melalui panitia yang disebut pada sub e di atas.


Kemudian setelah pertemuan, KSAD TNI Jenderal A.H. Nasution bersama rombongan yang terdiri dari perwira² stafnya, Kodam XIII/Merdeka, atase² militer negara asing, D.J. Somba dan Dolf Runturambi bersama dengan rombongan lainnya menuju Papakelan - Tondano, dan diadakan parade oleh satu brigade pasukan Permesta dan brigade TNI AD. KSAD TNI Jenderal A.H. Nasution menerima penghormatan tersebut. Panglima Besar Permesta Alex E. Kawilarang dari pertemuan di Tomohon, langsung kembali ke Woloan dan Taratara, karena ia masih kurang sehat akibat flu yang dideritanya dua hari sebelumnya.

Para perwira Permesta tersebut kemudian menerima kembali pangkat mereka saat sebelum 17 Februari 1958. Namun permasalahannya kemudian terletak pada posisi Alex E. Kawilarang, karena selain sebagai perwira senior TNI, juga pangkatnya sangat tinggi, yaitu Jenderal Mayor Permesta. Akhirnya diambil keputusan bahwa ia akan diberikan pensiun (purnawirawan).

(Tetapi belakangan Kawilarang kecewa pada Nasution yang tidak menepati janjinya:
Sejumlah perwira Permesta ditahan dan yang lainnya diturunkan pangkat. Ribuan pasukan Permesta setiba mereka di pulau Jawa tanpa diduga dilucuti senjatanya dan dimasukkan ke kamp² konsentrasi/rehabilitasi. Sebagian lagi dikirim ke perbatasan Kalimantan Utara dan berperang melawan tentara Inggris Ghurka/Dwikora).

Kepala Staf Angkatan Perang RPI, Brigjen. Ventje Sumual saat itu belum menyerahkan diri. Ia masih di hutan menunggu perintah dari Sjafruddin Prawiranegara selaku sebagai Perdana Menteri RPI. Tinggal kurang dari 200 orang pasukan yang masih menjadi anak buahnya. Anggota keluarga, orang sipil lain, serta mereka yang sakit dan cacat diperbolehkan menyerah pada bulan Mei. Ny. Sumual, Ny. Hetty Gerungan-Warouw, Ny. J.H.Pantouw-Macawalang dan Gubernur Permesta H.D. Manoppo berada dalam kelompok ini.
29 Mei 1961 Secara resmi Ahmad Husein melaporkan diri dengan pasukannya, disusul oleh tokoh² RPI yang lain, baik sipil maupun militer.
Kelompok M. Simbolon dan Achmad Husein memang memisahkan dengan RPI (Republik Persatuan Indonesia), lalu mebentuk Pemerintah Darurat Militer, sama seperti yang dilakukan Alex Kawilarang dan kawan²nya di Sulawesi. Mereka telah melangsungkan perundingan antar tahun 1958-1959 di Singapura, Hong Kong dan Jenewa, namun menemui kegagalan.
bulan Juni dan Juli mereka menyerahkan diri dengan sejumlah 24.500 orang.
Kembali Ke 
Atas Go down
Lihat profil user http://paguyubanpulukadang.forumotion.net
Admin
Admin


Jumlah posting: 2235
Registration date: 31.08.08

PostSubyek: Re: SEJARAH PERMESTA   Tue Feb 17, 2009 6:42 pm

22 Juni 1961 ani_id_flag.gif Permesta mendapat amnesti dan abolisi dari Presiden Soekarno melalui KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NO. 322 TAHUN 1961 Tentang "Pemberian AMNESTI dan ABOLISI Kepada Para Pengikut Gerakan `Permesta` Dibawah Pimpinan Kawilarang, Saerang, dan Somba yang Memenuhi Panggilan Pemerintah Kembali Kepangkuan Ibu Pertiwi".

Amnesti dan abolisi ini diberikan kepada para pengikut gerakan "Permesta" dibawah pimpinan Alex Kawilarang, Laurens Saerang dan D.J. Somba yang telah memenuhi panggilan Pemerintah untuk kembali kepangkuan Ibu Pertiwi.
Dengan memberikan amnesti, maka semua akibat hukum pidana terhadap pengikut gerakan Permesta dibawah komando Alex Kawilarang dan Laurens Saerang dihapuskan.
Dengan memberikan abolisi, maka penuntutan terhadap pengikut gerakan Permesta dibawah komando Alex Kawilarang dan Laurens Saerang ditiadakan.
Pelaksanaan dari keputusan ini dilanjutkan oleh Menteri Keamanan Nasional sedangkan kelanjutannya (follow-up) menjadi tugas departemen yang bersangkutan dibawah koordinasi Menteri Keamanan Nasional.

Amesti ini dinyatakan kepada mereka "yang kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi".
Amnesti dan abolisi ini tidak disetujui oleh PKI.

Alex E. Kawilarang, D.J. Somba, Wim Tenges, Lendy R. Tumbelaka, Laurens F. Saerang langsung direhabilitasi namanya oleh Presiden Soekarno, sedangkan yang lainnya diberi komentar "Revolusi belum selesai dan tuan² ini adalah penghalang roda revolusi," kata Soekarno kepada para bekas perwira Permesta yang lainnya dan kemudian ditahan tanpa melalui proses pengadilan. Mayor D.J. Somba sempat ditahan (karantina politik) selama 10 hari di Jakarta.

Pasukan Brigade Anoa (sebelumnya adalah Batalyon Q) pimpinan Mayor J. Lumingkewas yang bertahan di daerah Kotambunan - Bolmong, terperangkap diantara gerombolan pasukan Brigade 999 ("CTN/Garda Nasional" RPI) dan kepungan pasukan TNI, setelah menerima berita perdamaian tersebut, kemudian diangkut truk lalu naik kapal laut menuju Bitung. Selanjutnya pasukan ini dikirim ke Jawa Timur untuk kemudian dilatih di sana dan berangkat ke Irian barat menghadapai Belanda dalam rangka Operasi Trikora. Sebagian besar pasukan yang adalah gabungan ex. KNIL-TNI ini gugur di sana.
Bekas tentara Permesta yang dilatih di Minahasa selama beberapa minggu kemudian dikirim ke Kamp Rehabilitasi/Latihan di daerah Jawa Timur dalam beberapa tahap untuk persiapan dikirim untuk Operasi Pembebasan Irian Barat, Operasi Dwikora, dll.
Antara lain mereka naik kapal angkut pasukan ADRI "Aronda" dan tiba di Tanjung Perak Surabaya tanggal 1 September 1961, kemudian ditampung di Kamp Konsentrasi Dinoyo. Mereka di sana selama masa rehabilitasi diperlakukan dengan baik. Mereka menerima sabun mandi, rokok dan sedikit uang saku. Meskipun demikian, satuan² Permesta yang dikirim pada pemberangkatan² awal mengakui dalam surat yang dikirimkan kepada keluarga dan teman mereka bahwa mereka tidak diperlakukan dengan baik, senjatanya langsung disita di tempat latihan/rehabilitasi tersebut, sehingga timbul beberapa insiden di Bitung yang menolak untuk dikirim ke sana, dll.
Setelah selesai masa rehabilitasi kami diberikan 3 pilihan yaitu kembali ke bangku sekolah, kembali ke masyarakat dan masuk TNI. Setelah dites ternyata hanya sedikit yang tembus. Sedangkan sebagian besar kembali ke masyarakat.

Sebagian bekas pasukan Permesta (eks-Meta) diterima menjadi tentara APRI atau kembali ke kesatuannya.
Beberapa perwira Permesta, seperti D.J. Somba dan Lendy R. Tumbelaka ditarik ke Bakin (Badan Koodinasi Intelejen Negara), juga beberapa diantaranya yang mendapat tugas di MBAD (Mabes TNI-AD).

Para pemuda Permesta lainnya menempuh Sekolah Lanjutan Peralihan di Manado yang disediakan Pemerintah Pusat, setelah Penyelesaian Permesta (Kelak mereka mendirikan sebuah organisasi yang dianggap sebagai forum pembinaan dengan nama Ikaselanpe/Ikatan Alumni Sekolah Lanjutan Menengah Peralihan di Jakarta).

10 Juli 1961 Setelah sebelumnya pada bulan yang sama, Nun Pantouw serta adik perempuan Ventje Sumual, Evert (salah satu pimpinan PWP) ditangkap oleh pasukan Permesta yang sudah kembali ke TNI (disergap dalam sebuah acara di daerah Tombatu), Broer Tumbelaka datang bertemu dengan keduanya hari ini dan menyerahkan mereka kepada Kolonel Soenandar Priosoedarmo atas permintaan kedua orang itu sendiri.
29 Juli 1961 Suatu upacara di Manado diadakan hari ini untuk menyambut dan menegaskan amnesti dan abolisi terhadap Permesta serta penghapusan tuduhan² resmi yang mungkin akan diadakan terhadap pasukan Permesta.

Sebagai hasil penyelesaian dengan Alex E. Kawilarang dan D.J. Somba, diperkirakan 27.055 orang, 25.176 diantaranya anggota militer, 8.000 diantaranya bersenjata, mengakhiri pemberontakan mereka. Dari jumlah ini, diperkirakan 5.000 orang adalah bekas anggota TNI.
(Daftar ini tertanggal 6 April 1961 yang ditandatangani oleh Lendy R. Tumbelaka, sebagai kepala tim penengah KDM-SUT; hampir separuh mereka yang dimasukkan, yakni 13.673 orang, berada di Distrik III [WK-III]; terdapat 3.000-4.000 orang di ketiga Distrik/WK lain. Terdapat sekitar 3.000 senjata yang terdaftar di WK-II dan WK-III. Pada bulan Februari 1961, Yus Somba memperkirakan kekuatan total Permesta sekitar 43.000 orang, 5.000 diantaranya dari KDM-SUT [mungkin bekas TNI dari satuan manapun], dan 9.000 bekas anggota KNIL [1.000 diantaranya sudah pensiun]. Jumlah Pasukan Wanita Permesta yang menyerahkan diri saat itu antara 1.413 [angka dari Annie Kalangie], dan 1.502 dalam daftar 6 April 1961 ini).
Setelah masa screening, 8.000 orang dikirim ke Jawa Timur untuk karantina politik dan reindoktrinasi sebelum diterima (atau diterima kembali) ke dalam TNI. Sejumlah 11.000 orang, militer maupun sipil, telah menyerah bersama² dengan Brigade Manguni dan Laurens Saerang, dan sejumlah satuan Permesta lainnya telah menyerah kepada pasukan TNI setempat.
Tinggal kelompok di Minahasa Selatan, Ventje Sumual, Nun Pantouw, dan kedua batalyon dari Brigade 999 (Bn. Goan dan Bn. Lisangan): diperkirakan sejumlah 1.500 orang, 900 diantaranya bersenjata.
17 Agustus 1961

Panpres No.449/Th.1961 Tentang Amnesti dan Abolisi secara luas, selain kepada PRRI dan Permesta, juga kepada pemberontak DI/TII Daud Beureuh, Republik Maluku Selatan (RMS), DI/TII Kahar Mudzakkhar, dll, dengan syarat harus melapor selambat²nya tanggal 5 Oktober 1961 sudah harus melapor diri.

Bekas KSAU AUREV Petit Muharto Kartodirdjo pergi ke Kuala Lumpur untuk kemudian menghadiri penandatanganan pernyataan untuk kembali ke pangkuan RI.
Setelah penandatanganan itu, dia menerima sebuah perintah dari Alex Kawilarang untuk menyusun kepulangan keluarga² Permesta yang tetap berada di luar negeri. Sesudah konflik berakhir, Petit tetap tinggal di Singapura bersama keluarganya, baru pada tahun 1967 dia kembali ke Indonesia untuk jangka waktu yang pendek, untuk mengunjungi relasinya. Petit baru pulang kembali ke Indonesia tahun 1969.
Hari ini, Presiden Republik Persatuan Indonesia Sjafruddin Prawiranegara mengumumkan berakhirnya permusuhan, dan memerintahkan diakhirinya segala tentangan terhadap pemerintah RI dan TNI-nya.

1 komentar:

  1. Ahuuu...!! I YAYAT U SANTI jo for PERMESTA...!!

    God Bless Minahasa, KDM-SUT & PERMESTA

    BalasHapus